Kamis, 23 Oktober 2008

Permasalahan Kependudukan

INDONESIA MEMASUKI TITIK RAWAN KEPENDUDUKAN

***Pakar demografi dan kependudukan Prof Dr Prijono Tjiptoherijanto mengatakan bahwa perlu dibentuk kembali departemen kependudukan karena Indonesia kini memasuki titik rawan dalam masalah kependudukan.


Hal ini terungkap pada seminar yang berlangsung di kampus UI, Depok dalam rangka Ulang Tahun ke-40 Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI), Selasa.

Ia menambahkan bahwa saat ini tidak ada satu lembaga negara yang berfungsi sebagai koordinator atas langkah-langkah yang diambil pemerintah, lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah kependudukan.

"Sebagai contoh sederhana, sekarang kita bingung lembaga apa yang menjadi representasi resmi delegasi Indonesia saat pertemuan di UNDP," katanya.

Saat ini masalah kependudukan ditangani oleh beberapa kementerian diantaranya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

"Pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dan tidak memiliki political will pada masalah-masalah kependudukan," katanya dan menambahkan bahwa Indonesia kini menurut Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) berada pada peringkat 111 dari 172 negara, di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya tetapi sedikit di atas Vietnam.

Prijono juga menambahkan, seharusnya pemerintah serius menangani upaya-upaya pemberantasan kemiskinan, pemberdayaan Sumber Daya manusia (SDM) di bidang pendidikan dan kesehatan, pemberdayaan perempuan, berani menjalankan program-program yang tidak populis.

Sebagai contoh negara yang dinilai berhasil di kawasan Asia Tenggara adalah Malaysia yang menduduki peringkat 56 dalam peringkat HDI.

Ia menjelaskan bahwa terdapat sedikitnya tiga faktor di belakang keberhasilan Malaysia diantaranya pemimpin yang kuat, visi yang jelas (National Economic Policy pada era 70-an, dan Visi Malaysia 2020) serta dukungan politik parlemen yang dominan.

Pengaruhi proses politik:
Sementara itu dalam kesempatan sama, salah seorang staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) bidang demografi, Rozy Munir mengatakan bahwa permasalahan kependudukan turut mempengaruhi proses politik yang berlangsung di Indonesia.

Ia mencontohkan sebaran penduduk yang tidak merata pada pulau-pulau di Indonesia akhirnya menentukan proporsi perwakilan (representasi) wakil rakyat pada pemilihan umum (pemilu) legislatif lalu.

"Perbandingan memperoleh satu kursi di Pulau Jawa yang membutuhkan 425 ribu pemilih dengan salah satu daerah di luar Pulau Jawa yang hanya membutuhkan 10 ribu pemilih adalah konsekuensi yang harus diambil pada proses politik Pemilu 2004," katanya.

Selain itu juga dijumpai perbedaan hasil perhitungan mengenai data kependudukan yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS), Aparat pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan para pakar kependudukan yang juga menimbulkan berbagai masalah khususnya dalam pendataan pemilih dan penyelesaian pelanggaran-pelanggaran saat Pemilu lalu.

Hal ini tidaklah mengherankan karena dalam menentukan batas usia anak-anak saja terdapat beberapa definisi yang berbeda.

"Ukuran KPU untuk mendefinisikan anak itu adalah umur 8 tahun, sedangkan BPS 10 tahun dan pakar Demografi sering menggunakan ukuran umur di bawah 15 tahun," katanya.

Mantan Menteri Negara BUMN pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid ini juga mengatakan bahwa perlu diadakan penyamaan persepsi antara instansi-instansi terkait agar di masa yang akan datang data kependudukan yang dimiliki Indonesia lebih akurat dan dapat memberikan terobosan-terobosan yang berarti dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

Jika perbedaan definisi untuk poin-poin dasar tidak segera dicarikan titik temunya maka sangat mungkin hal ini akan menimbulkan permasalahan di masa mendatang, katanya.

Pemberdayaan perempuan:

Sementara itu pakar Kependudukan Dr Sri Harijati Hatmadji mengatakan bahwa salah satu solusi masalah kependudukan adalah pemberdayaan kaum wanita.

Hal ini diungkapkan saat menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela acara seminar bertema Ilmu Kependudukan adalah Pilar (Population is the core) di kampus baru UI Depok dalam rangka Ulang tahun ke-40 Lembaga Demografi (LD) FEUI, Selasa.

Sri mengatakan lebih lanjut bahwa salah satu prioritas yang harus diambil pemerintah adalah memberikan akses pendidikan yang cukup bagi kaum perempuan, meningkatkan mutu gizi dan mengurangi angka kematian ibu.

Ia menjelaskan bahwa jika kaum wanita memiliki pengetahuan dan pendidikan yang cukup maka sebagian permasalahan keluarga akan mudah teratasi padahal masalah keluarga merupakan inti dari masalah pendudukan.

"LD FEUI pernah melakukan penelitian yang menunjukan bahwa jika dalam satu keluarga proporsi wanitanya lebih banyak yang berpendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) cenderung lebih sejahtera dibandingkan jika proporsi prianya yang lebih banyak," katanya.

Sri yang juga menjabat sebagai kepala LD FEUI juga mengingatkan bahwa hal tersebut bukan semata-mata masalah jender tetapi lebih ke arah persamaan hak atau akses untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Di sisi lain kiprah Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga tidak maksimal karena hanya dapat memberikan masukan dan rekomendasi pada pihak terkait lainnya dan tidak memiliki otoritas untuk memasuki ranah operasional.

Ia mencontohkan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan hanya bisa memberikan masukan mengenai masalah-masalah tenaga kerja wanita (TKW) tanpa mampu melakukan aksi kongkrit untuk menangai masalah tersebut.

Padahal banyak permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kewanitaan perlu segera ditindaklanjuti dengan solusi nyata tanpa harus melalui birokrasi yang panjang dan ketergantungan yang tinggi pada kementerian lain.

Tidak ada komentar: